SUNGGUH menggelisahkan pembangunan properti di beberapa kota besar, terutama Jakarta dan sekitarnya. Pembangunan apartemen, kondominium, dan perumahan menengah ke atas demikian gencar. Jika memerhatikan pembangunan gedung pencakar langit yang kini tumbuh subur di Jakarta, sebagian besar didominasi oleh pembangunan apartemen.
SEBALIKNYA, pembangunan rumah susun untuk kalangan berpenghasilan menengah ke bawah, juga rumah sehat sederhana, hampir tidak tampak sama sekali. Jika dibuat perumpamaan, pembangunan apartemen dan perumahan menengah ke atas berlari cepat karena ditarik oleh mesin, sebaliknya pembangunan perumahan menengah ke bawah berjalan amat lamban karena hanya dihela manusia.
Di forum lain pusat perbelanjaan untuk kalangan menengah ke atas terus dibangun secara amat bernafsu. Di mana- mana, di ibu kota berpenduduk 10 juta jiwa ini, mal atau plaza muncul bak jamur di musim hujan. Sebaliknya, pembangunan pusat perbelanjaan untuk golongan berpenghasilan kecil terus menyusut. Pasar tradisional, yang selama ini ajang mereka berbelanja, berada dalam kondisi buruk. Sebagian bahkan sudah tutup karena manajemen yang miskin dan pengunjung yang kurang.
Jika ini terus berlangsung, perbedaan yang amat mencolok antara warga berpenghasilan menengah ke bawah dan menengah ke atas akan terus melebar. Ini pada gilirannya akan melahirkan kerumitan baru, dikotomi yang amat tajam antara warga kaya dan miskin. Tidak jelas apakah masalah ini disadari dengan baik oleh para pengambil keputusan di negara ini. Tidak jelas juga apakah para pengembang yang gegap gempita membangun perumahan menengah ke atas menyadari potensi bahaya dari pembangunan apartemen menengah ke atas. Jika tidak, kekhawatiran akan munculnya persoalan sosial ekonomi akibat kesenjangan tersebut sangat beralasan.
Catatan ini hendaknya tidak diterima seperti angin lalu. Mari kita menyadari, kini begitu banyak konflik yang muncul silih berganti di negara ini. Hampir seluruhnya berlatar ekonomi. Letupan besar di Jakarta pada 13-14 Mei 1998 sungguh karena masalah ekonomi. Warga yang kaya sibuk dengan kekayaannya, sibuk membangun konglomerasi dari hulu ke hilir. Rakyat yang lapar dan kesulitan membangun rumah akhirnya memperoleh alasan meluapkan kemarahan kepada warga lainnya. Jadilah tanggal 13-14 Mei 1998 sebagai huru-hara yang menyesakkan.
Konflik bersenjata di Aceh, sekadar menyebut contoh lain, sungguh karena persoalan ekonomi juga. Orang Aceh merasa tanah mereka kaya raya, ada berbagai jenis tambang mahal yang diisap di situ, tetapi kok mereka tidak kaya? Kok infrastruktur di Aceh tak mengesankan? Perselisihan di wilayah lain juga lebih kurang sama.
Para pengembang yang hiruk-pikuk membangun rumah dan apartemen mewah hendaknya ikut pula menyadari bahwa tatkala mereka begitu riuh membangun kawasan permukiman elite, banyak warga miskin yang meratap pilu karena tergusur. Ada yang terbuang dari kolong jembatan, ada pula yang terempas dari permukiman mereka di tanah-tanah yang selama ini terkesan tidak bertuan. Ini semua perlu diwaspadai sebagai fenomena rawan.
DI era Akbar Tandjung sebagai menteri negara perumahan, gagasan membangun rumah murah, yang populer dengan sebutan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana, gegap-gempita dipopulerkan. Para pengembang yang tunduk pada anjuran Akbar Tandjung cukup bersemangat membangun. Pengembang perumahan yang membangun rumah sangat sederhana (kini muncul dengan nama rumah sehat sederhana) di antaranya adalah perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) dan sejumlah perumahan yang dibangun Ciputra. Namun, setelah Akbar Tandjung turun dari panggung kabinet, ihwal rumah sehat sederhana ini terbenam. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah yang mestinya ikut memerhatikan masalah perumahan untuk rakyat jelata secara serius terkesan tidak bisa berbuat optimal.
Kesan lain, pemerintah bersikap terlampau lunak kepada para pengembang. Pemerintah, dengan otoritas yang dimilikinya, mestinya dapat "memaksakan" pembangunan perumahan yang berimbang. Berimbang di sini berarti, pengembang tidak hanya membangun rumah untuk orang kaya, tetapi juga untuk warga berpenghasilan amat kecil. Tentu membangun rumah seperti ini sangat merugikan jika dihitung dari aspek materi. Namun, pengembang yang cerdas dapat melakukan subsidi silang dengan perumahan yang dibangunnya. Pemerintah pun, untuk tindakan ini, wajib menyediakan subsidi atau stimulasi lain yang mampu mendorong pengembang membangun rumah bagi warga kecil.
Apa boleh buat, untuk merealisasikan program rumah untuk rakyat kecil ini, pemerintah mesti menyubsidi dan bertindak tidak populer, dengan sedikit "memaksa" para pengembang. Jika hal ini tidak dilakukan, sulit mengharapkan pengembang bersedia membangun rumah untuk rakyat kecil. Ini sungguh hanya bisa ditembus dengan keputusan politik dari rezim yang berkuasa.
SUBSIDI untuk membangun rumah rakyat kecil atau memberi kompensasi positif kepada pengembang yang membangun rumah murah memang tidak bisa dielakkan, terutama untuk wilayah di Jakarta. Bukan apa- apa, kini tak banyak lagi lahan kosong di Jakarta yang bisa dibanguni perumahan sederhana, atau sebutlah semacam rumah susun. Kalaupun ada lahan kosong, harganya minta ampun! Lahan di pinggiran kota per meter persegi bisa jadi Rp 3 juta per meter. Seribu meter persegi berarti Rp 3.000.000.000. Ini baru tanah mentah yang belum diolah, belum dimatangkan. Hendak mencari satu hektar? Siapkan Rp 30.000.000.000.
Angka-angka di atas baru harga tanah. Bagaimana dengan biaya membangun rumah susun? Anggarannya pasti lebih besar. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana hendak membangun rumah susun di atas tanah yang harganya segini? Anda bercanda! Rumah susun dimaksud hanya bisa dibangun jika ada subsidi dari pemerintah. Di luar itu tidak ada cerita.
Tanah dengan harga seperti itu adalah tanah di kawasan pinggiran, yang para pengembang besar enggan menengoknya. Bagaimana dengan tanah di tepian jalan kawasan segi tiga emas? Harga tanah di kawasan ini setidaknya Rp 10.000.000 per meter persegi. Membangun rumah susun di sini, dengan luas 10.000 meter persegi, sama dengan mengalokasikan Rp 100 miliar. Belum termasuk bangunannya. Uang siapa yang bisa digunakan kalau bukan uang pemerintah? Persoalan lain, kini tidak mudah mencari tanah dengan luas seperti itu di Jakarta. Tentu saja masih banyak tanah kosong di jantung Jakarta, tetapi dengan luas yang terbatas, misalnya 1.000 meter persegi. Mencari tanah satu hamparan, misalnya seluas 20.000 meter persegi dan lebih, sudah sangat sulit.
Analis dan periset properti Panangian Simanungkalit menyatakan, jalan keluar yang mungkin dilakukan untuk membangun rumah bagi rakyat kecil ialah dengan melakukan dua terobosan. Pertama, keputusan politik pemerintah untuk mendorong pembangunan rumah sehat sederhana dan rumah susun. Kedua, pemerintah membangun apartemen murah/ rumah susun, misalnya di sekitar Manggarai, Tanah Abang, sepanjang koridor Dr Satrio- Cassablanca, dan di beberapa kantong kawasan segi tiga emas. Harga tanah di sekitar kawasan ini masih murah, sekitar Rp 3 juta per meter persegi, tetapi lokasinya tertutup oleh gedung-gedung tinggi. Cara membuka lahan itu dengan mendobrak isolasi, membangun akses atau jaringan jalan baru. Di sini ada sejumlah rumah yang mau tak mau mesti direbahkan.
Tambahan pula, bukan saatnya lagi membangun rumah susun enam sampai delapan lantai. Harga tanah di DKI Jakarta sudah terlampau mahal sehingga rumah mutlak dibangun makin vertikal. Rasanya sudah saatnya rumah susun itu dibangun dengan konstruksi 25 lantai ke atas, seperti banyak ditemukan di negara-negara komunis, seperti RRC dan Kuba. Atau di kota-kota dengan daratan amat sempit, seperti Singapura, Makao, dan Hongkong. Kalau harus menggunakan petugas pembersih atau pemelihara gedung, itu sudah konsekuensi logis dari pembangunan gedung tinggi. Penanganannya sungguh menyangkut urusan manajemen.
TATKALA masih menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla pernah mencanangkan apa yang kemudian populer dengan sebutan program sejuta rumah. Jusuf, seperti diutarakannya kembali kepada Kompas hari Kamis (12/8) malam, mengatakan, pembangunan sejuta rumah itu bukan candaan, bukan mimpi.
Ia menjelaskan salah satu pos anggaran untuk membangun sejuta rumah itu ialah dengan memanfaatkan dana subsidi yang dipunyai pemerintah, yakni sebesar Rp 0,5 triliun. Dana ini bisa diberikan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) untuk dikelola. Dari sini pemerintah dapat mulai membangun rumah di seluruh provinsi.
"Sepanjang pengetahuan saya, pembangunan sejuta rumah itu mestinya sangat mungkin dilaksanakan. Pertama, ada dana dari pemerintah. Bahkan, Bank Indonesia bersedia turun tangan membantu perumahan rakyat kecil itu. Kedua, ketika itu banyak tanah kosong milik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bisa dibanguni rumah susun atau rumah sederhana. Ketiga, para pengembang dan kontraktor sudah menyampaikan kesediaannya membangun. Nah, kurang apa lagi? Akan tetapi, saya merasa aneh, kok program ini tidak jalan, padahal ini tampaknya hanya masalah koordinasi," kata Jusuf Kalla.
Persoalan bangsa ini sejak dulu memang tidak jauh dari masalah tersebut. Bangsa ini mudah membuat program, tetapi pengejawantahan ke bawah selalu tidak mudah.
Contoh kasus yang dingkapkan Jusuf Kalla itu sangat riil. Uang ada, kontraktor dan pengembang ada. Pembeli juga amat banyak, tetapi mengapa tak dibangun juga? Mengapa kita sangat lemah mengeksekusi sebuah rencana? (Abun Sanda)
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi
Terima kasih telah membaca artikel tentang Rumah Harga Murah di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.