Oleh Boni Pramudyanto dan Khaerudin
Tak selamanya tenaga kerja Indonesia pulang dengan membawa cerita duka. Banyak pula TKI yang kembali ke kampungnya dengan cerita sukses. Bahkan, tak sedikit TKI yang bisa membangun rumah dan jalan desanya berkat cucuran keringat di negeri orang.
Di sejumlah daerah, rumah- rumah milik tenaga kerja Indonesia (TKI) terlihat lebih megah dan mewah dibandingkan dengan rumah- rumah di sekelilingnya. Di Pulau Madura, misalnya, rumah-rumah mewah dengan beragam model modern berjajar di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Bangkalan dengan Sampang. Pemilik rumah tersebut, yang sebagian besar TKI, seolah saling berlomba menunjukkan bahwa rumahnyalah yang terindah dan termewah.
Di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, banyak rumah berarsitektur modern ternyata pemiliknya TKI yang mengadu nasib di negeri jiran. Rumah-rumah tersebut terlihat kontras dengan rumah-rumah tradisional Jawa berbentuk limas yang pemiliknya bukan TKI.
Di perkampungan nelayan Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah bisa diduga, rumah-rumah bertembok beton pastilah milik TKI. ”Adapun rumah warga yang bukan TKI umumnya berlantai dan berdinding papan,” kata seorang warga perkampungan nelayan Desa Rantau Panjang, Kabupaten Deli Serdang.
Begitu pun di daerah asal TKI di Jawa Barat, seperti Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, atau Kecamatan Kandanghaur dan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Rumah mewah menjadi semacam identitas bahwa pemiliknya TKI dan meraih sukses di perantauan.
Namun, ada kesamaan di rumah-rumah mewah milik TKI tersebut, yakni rumah-rumah itu kosong tanpa penghuni. Kalaupun ada penghuni, umumnya orang-orang lanjut usia, seperti orangtua atau kakek pemilik rumah, yang tak mungkin lagi menjadi TKI.
”Pemiliknya terkadang hanya saat Lebaran saja pulang ke sini,” kata Djemirun, Kepala Dusun Lembah I, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo, yang merupakan daerah penghasil TKI. Di dusun tersebut, dari sekitar 200 jiwa, sekitar 140 warganya baik pria maupun wanita menjadi TKI ke sejumlah negara.
Selain membawa berkah bagi buruh-buruh bangunan di desa yang mendapat order membangun rumah, adanya TKI juga berdampak positif bagi pembangunan infra struktur. Di daerah asal TKI kini, kondisi jalan, jembatan, dan masjid umumnya lebih bagus dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan sebagian besar dilakukan secara swadaya oleh para TKI.
Jadi konsumtif
Besarnya peran TKI bagi pembangunan daerah tidak terlepas dari kiriman uang para TKI kepada keluarganya yang tinggal di daerah asal. Di Jawa Timur, misalnya, besarnya remittance atau kiriman uang dari para TKI di berbagai negara pada tahun 2006 mencapai Rp 2,565 triliun. Jumlah ini berarti naik dibandingkan dengan tahun 2005 yang hanya mencapai Rp 2,146 triliun.
Adapun jumlah TKI asal Jawa Timur yang berangkat selama tahun 2006 mencapai 58.547 orang, meningkat dari tahun 2005 yang hanya 56.033 orang.
Kepala Seksi Perlindungan dan Evaluasi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Jawa Timur Widodo mengatakan, pengiriman uang terbanyak berasal dari Hongkong, sebesar Rp 1,050 triliun. Pengiriman uang terbesar kedua selama tahun 2006 berasal dari para TKI di Brunei Darussalam sebesar Rp 600,253 miliar. Kemudian dari Taiwan sebesar Rp 485,177 miliar, Malaysia sebesar Rp 369,612 miliar, Singapura sebesar Rp 49,096 miliar, dan Siprus sekitar Rp 6,336 miliar.
”Namun, sebenarnya besarnya pengiriman uang dari para TKI melalui transfer bank tidak berbanding lurus dengan jumlah TKI yang ditempatkan di suatu negara,” ujar Widodo.
Sebagai contoh, jumlah TKI yang bekerja di Hongkong tahun 2006 hanya 13.159 orang, tetapi dana yang dikirim mencapai Rp 1,05 triliun. Adapun jumlah TKI yang ditempatkan atau bekerja di Malaysia jauh lebih banyak, mencapai 25.868 orang, tetapi pengiriman uangnya hanya sekitar Rp 369,612 miliar selama satu tahun.
Sayangnya, keluarga yang mendapat kiriman uang dari TKI tidak menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang produktif. Justru ada kecenderungan kiriman uang tersebut dipakai untuk hal-hal konsumtif, seperti merenovasi rumah, membeli mobil atau motor yang sebenarnya tidak mendesak.
Mobil baru
Wuryanto (34), tokoh Desa Lembah, Kabupaten Ponorogo, mengatakan, sering kali terjadi, seorang TKI langsung membeli mobil baru seharga di atas Rp 100 juta saat pulang ke desa.
”Namun, tidak sampai dua bulan, mobil sudah dijual kembali pada saat dia akan kembali bekerja ke luar negeri. Jadi, intinya hanya untuk jor-joran saja,” kata dia sambil menambahkan bahwa cara berpakaian warga yang sudah menjadi TKI pun menjadi berubah total.
Begitupun di Kecamatan Waluran, Nyalindung, Tegalbuleud, dan Cidolog, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, rumah-rumah milik TKI lebih apik dan mewah dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya. Dari penuturan beberapa TKW, membuat rumah bagus adalah prioritas utama bagi mereka. Prioritas berikutnya adalah menyekolahkan anak dan terakhir adalah mengumpulkan modal.
Apa yang diprioritaskan para TKI itu memang tak bisa disalahkan begitu saja mengingat mereka umumnya berasal dari kalangan ekonomi bawah yang menjadikan rumah sebagai salah satu bentuk identitas keberhasilan mereka. Tak cukup cuma bentuk rumah, mereka pun mengisinya dengan berbagai perabotan yang tergolong mewah untuk ukuran desa mereka.
Begitulah cara TKI menunjukkan keberhasilan mereka menaklukan nasib di negeri orang. Kompas
Membangun Rumah Mewah
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi
Terima kasih telah membaca artikel tentang Rumah Mewah | Rumah Mewah = Sukses? di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.