Adalah Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Yusuf Asy’ari yang secara blak-blakan menuding hal itu. Menurutnya, konsep itu sudah mulai ditinggalkan oleh pengembang dengan berbagai dalih. “Jangan sampai pembangunan perumahan justru menimbulkan semakin lebarnya kesenjangan sehingga dapat memicu gejolak sosial,” ujar Menpera.
Tidak kurang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla juga melontarkan peringatan agar pengembang tetap menerapkan konsep pembangunan perumahan dengan pola 1:3:6. Pemerintah, tegasnya, berencana menggiatkan kembali konsep itu. Tujuannya agar pembangunan perumahan bisa merata dan bisa menjaga harmoni bangsa.
“Mungkin saat ini banyak pengembang sudah lupa mengenai kewajiban ini, padahal apa yang dibangun tanpa harmoni akan lenyap setiap saat apabila harmoni ini tidak dijaga,” tandasnya. Dirinya mengimbau para pengembang yang tergabung dalam organisasi REI (Real Estat Indonesia) untuk tidak lupa mengenai kewajiban-kewajiban membangun perumahan dengan konsep 1;3;6.
Harus diakui, lontaran kekhawatiran dan peringatan yang disampaikan oleh Menpera dan Wapres itu agaknya menjadi “lampu kuning” bagi kalangan pengembang. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono agaknya menganggap perumahan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah butuh prioritas. Jusuf Kalla patut merasa khawatir dengan menjamurnya rumah-rumah mewah, hotel, pusat perbelanjaan dan apartemen di Jakarta dan wilayah lain.
Di satu sisi, pembangunan rumah-rumah mewah dan properti lain adalah penting. Akan tetapi bila tidak diimbangi dengan rumah yang layak dan dalam volume besar bagi orang kecil maka perkembangan bangsa ini menurutnya tidak akan harmonis.
“Kita punya pengalaman yang sedih tentang ketidakseimbangan bangsa ini. Boleh kita bangun rumah mewah, boleh kita bangun apartemen, dan itu sah-sah saja. Tapi tentunya kita harus bersama-sama, kami pemerintah bertanggungjawab untuk membangun rumah yang layak huni bagi masyarakat kecil itu,” papar Wapres.
Stok Lahan
Di kalangan pengembang pun masalah konsep 1:3:6 ini masih menimbulkan pro dan kontra. Meskipun sudah menjadi ketentuan yang seharusnya dipatuhi, namun diakui tidak sedikit developer yang tidak mengindahkan hal itu.
Ketua DPD (Dewan Pengurus Daerah) REI DKI Jakarta, Alwi Bagir Mulachela berpendapat, tidak ada sanksi yang bisa diberikan bagi pengembang bila tidak menjalankan pola 1:3:6 itu.
“Kita hanya bisa mengimbau teman-teman pengembang. Hanya sebatas itu sehingga bila mereka tidak menjalankannya, yah kita tidak bisa memaksakan. Namun selayaknya, konsep itu perlu dilaksanakan,” ujarnya.
Suara-suara yang kontra dengan konsep itu mengajukan argumentasi, sangat sulit bagi pengembang melaksanakan pola 1:3:6 bila lahan yang dibebaskan untuk pembangunan perumahan luasnya tidak gede-gede amat.
Untuk membangun perumahan menengah atau atas saja dirasakan terbatas, apalagi bila memaksakan diri membangun Rumah Sederhana (RS) di kompleks perumahan yang sama.
“Kita sih bukannya tidak setuju. Oke-oke saja membangun rumah sederhana. Tetapi terkadang stok lahan kita terbatas kurang dari 10 hektare sehingga tidak pas bila di situ juga dipaksakan dibangun RS. Justru akan merusak pemandangan dan lingkungan,” ujar salah seorang pengembang.
Bila areal perumahan yang dimiliki cukup besar barangkali tidak masalah membangun rumah sederhana dalam satu lingkungan dengan rumah-rumah menengah atas. Tetapi bila areal kecil, menyatukan lingkungan rumah sederhana dengan kelas atas menimbulkan ketidaknyamanan bagi kedua pihak.
“Jangan salah, mereka yang tinggal dekat dengan rumah-rumah orang berkelas juga merasa minder. Dan faktor itu bisa saja menimbulkan kecemburuan sosial atau ketidakharmonisan dalam lingkungan. Jadi tidak bisa disamaratakan bahwa semua harus ikut pola 1:3:6,” kata salah satu pengembang.
Rencana Induk
Dhonny Rahajoe, Public Service Manager Bumi Serpong Damai (BSD), pernah berkata tendensi atau kecenderungan ditinggalkannya pola 1:3:6 tersebut memang ada. “Ya, mungkin ada teman-teman yang begitu. Bisa jadi karena pertimbangan bisnis atau yang lain, sehingga pola itu tidak dijalankan. Itu sih haknya pengembang,” ujarnya singkat.
Bagi BSD jelas Dhonny, konsep 1:3:6 itu bukanlah persoalan. Pasalnya, pembangunan BSD awalnya memang bermula dari dibangunnya unit-unit rumah sederhana di kawasan tersebut. Dan jumlahnya kini mencapai ratusan unit.
Kini kawasan BSD sudah menjelma menjadi kota mandiri dengan beragam fasilitas hunian dan komersial. Ruko, mal, dan perkantoran membaur satu bersama rumah-rumah kelas bawah, menengah dan atas.
“Jadi kalau sekarang kami banyak membangun rumah menengah atas, mal, dan komersial, tidak berarti konsep 1:3:6 kami tinggalkan. Rumah-rumah sederhana di BSD sudah banyak sekali kok, dan sejauh ini masih sesuai dengan rencana induk yang kita susun,” paparnya.
Taman Melati
Salah satu pengembang yang tidak melupakan rumah sederhana adalah PT Adhi Realty, anak perusahaan dari BUMN kontraktor PT Adhi Karya.
Pengembang ini memiliki beberapa proyek perumahan di antaranya Perumahan Villa Cipinang, Villa Kedoya, Beringin Indah, Taman Century I, Taman Century II, dan Graha Kalimas di Bekasi. Perumahan-perumahan yang dibangun kebanyakan adalah untuk kelas menengah. Proyek terbaru yang akan dibangun tahun ini juga adalah Perumahan Taman Melati Sawangan di Depok.
Bambang Budi Raharjo, Direktur Utama PT Adhi Realty, berujar pihaknya membidik kelas menengah bawah untuk Perumahan Taman Melati Sawangan.
“Kelas menengah merupakan target yang paling mengena untuk perumahan ini, apalagi permintaan akan perumahan di Sawangan oleh kalangan menengah sangat tinggi,” katanya. Yang pasti, tandas Bambang, pihak Adhi Realty tetap berkomitmen membangun rumah-rumah bagi kelas bawah.
Dari total 280 unit pada Tahap I hingga Desember 2005, pengembang ini membangun sekitar 30-an unit rumah sederhana Tipe 27/72. Sisanya adalah Tipe 36/72, Tipe 36/84 dan Tipe 45/90 di atas lahan seluas kurang lebih 23 hektare. Nantinya akan ada pembangunan Tahap II di awal 2006 sehingga total areal yang dibangun mencapai sekitar 36 hektare.
“Kita memang sengaja membangun rumah-rumah kecil Tipe 27 meski porsinya tidak terlalu banyak. Ini juga untuk menciptakan keseimbangan dan komitmen bahwa kita peduli terhadap kebutuhan masyarakat terutama segmen bawah,” jelas Bambang.
Kesimpulannya, pola 1:3:6 tampaknya masih diperlukan untuk dijalankan oleh kalangan pengembang. Barangkali formulanya bisa diubah agar lebih fleksibel. Namun esensinya, tetap ada kepedulian pada masyarakat kelas bawah.
(SH/rudy victor sinaga)
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Terima kasih telah membaca artikel tentang Pengembang Jangan Lupakan Rumah Sederhana di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.