Oleh Yenti Aprianti
Memiliki rumah yang layak-tempat seluruh anggota keluarga berkumpul dan berlindung-tentu menjadi mimpi semua orang. Sayangnya, bagi orang-orang berpenghasilan rendah, mempunyai rumah bukanlah hal mudah.
Nining (40) tidak pernah membayangkan ia akan memiliki rumah sendiri. Suaminya hanya pengendara ojek motor. Penghasilannya tidak menentu sehingga Nining tidak bisa menargetkan jumlah tabungan tertentu yang memadai untuk membeli rumah.
Namun, kesabarannya menyisihkan penghasilan suaminya pun berbuah juga. Setelah lima tahun menikah dan menumpang hidup pada orangtuanya di daerah Rajawali, Kota Bandung, barulah ia memiliki rumah sederhana dengan cara mencicil selama 15 tahun.
Ia mendapatkan rumahnya dengan cara overkredit dari seorang guru. Ia membayar rumah dengan luas tanah 56 meter persegi seharga Rp 2,5 juta. Pemiliknya baru mencicil dua kali. Kini, Nining sudah 10 tahun mencicil rumah dengan luas bangunan sekitar 25 meter persegi dengan satu kamar, ruang tamu, serta sebuah kamar mandi.
Kebahagiaan memiliki rumah mengobati kepenatan Nining mengatur penghasilan suaminya yang Rp 15.000 per hari agar bisa tetap membayar cicilan Rp 41.000 per bulan. "Orang seperti saya, susah membayangkan punya rumah. Tapi, alhamdulillah akhirnya punya," kata warga Kompleks Puteraco, Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang ini.
Wilayah tersebut dekat kawasan industri Rancaekek. Itu sebabnya di daerah tersebut mudah ditemukan kompleks-kompleks perumahan sederhana sehat dengan tipe 29 ke bawah. Rumah-rumah itu dibangun untuk kalangan berpenghasilan tidak lebih dari Rp 2 juta per bulan. Mereka yang mendapat prioritas adalah pekerja pabrik yang menjadi anggota jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI dan Polri.
Harga rumah sederhana sehat (RSS) sudah ditentukan oleh pemerintah, maksimum Rp 42 juta. "Di kawasan Kota Bandung sudah tidak ada lagi pembangunan RSS karena harga tanah sangat mahal sehingga pengembang tidak bisa menjual dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah," kata Ferry Sandiyana, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Jawa Barat (Apersi Jabar).
Lahan mahal
Pengembang lebih banyak memilih pembangunan rumah di daerah pinggiran kabupaten di kaki-kaki bukit yang harga tanahnya masih murah. Menurut Ferry, agar tetap bisa menjual rumah dengan harga maksimum Rp 42 juta, harga lahan berkisar Rp 35.000-Rp 60.000 per meter. Pengembangan terbanyak terjadi di Kabupaten Bandung sebab peminatnya cukup tinggi.
Masih banyak masyarakat kabupaten yang bekerja di Kota Bandung. Sementara peminat RSS di luar Kabupaten Bandung, seperti di Ciamis atau Cianjur, adalah para pensiunan, baik PNS, TNI, maupun Polri. Mereka bisa mencicil rumah asalkan usianya kurang dari 55 tahun. Mereka yang memiliki rumah pertama mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Tahun 2006 ini, Jabar menargetkan pembangunan 20.000 RSS. Sebanyak 12.000 rumah dibangun di wilayah penunjang Ibu Kota negara, seperti Bogor, Bekasi, Purwakarta, dan Karawang. Sisanya di Jabar lainnya sebanyak 8.000 unit. Sebanyak 40 persen dari 8.000 unit dibangun di Kabupaten Bandung. Baru sekitar 2.500 unit yang sudah dibangun di Jabar.
RSS tersebut dibangun oleh sekitar 120 pengembang di Jabar. Di Jabar, karena harga tanah sudah mahal, dengan harga Rp 42 juta, pengembang hanya mampu membuat rumah tipe 29 ke bawah. Padahal di luar Jabar, pengembang masih bisa membuat RSS tipe 36. Untuk tipe 29, luas tanahnya 72 meter persegi, sedangkan tipe 22 luas tanahnya 22 meter persegi.
Endrawan Natawirya, Ketua Dewan Penasihat Apersi, mengatakan, di Indonesia, Jabar merupakan provinsi yang paling banyak memiliki keluarga yang tidak mempunyai rumah. Jumlah terbanyak ada di Bogor. Pemerintah sudah memiliki program pemukiman. Namun, tampaknya program tersebut kurang diperhatikan. Salah satu buktinya, data tentang permukiman masyarakatnya kurang akurat.
Minat membeli atau mencicil RSS di Jabar cukup tinggi. Sayangnya, hanya 12,5 persen keluarga di Jabar yang mampu mencicil rumah. Mereka itu berpenghasilan lebih dari Rp 1,2 juta per bulan. Sisanya adalah kaum duafa. "Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini?" tanya Endrawan, yang menyesalkan kondisi banyaknya masyarakat yang membutuhkan rumah, namun pengawasan dan penindakan terhadap oknum yang meminta biaya siluman cukup tinggi pada pengembang tidak pernah ditindak.
Endrawan mengatakan, biaya izin tidak resmi sangat tinggi. Ferry merinci, biaya tidak resmi pada oknum bisa menghabiskan 20 persen dari biaya operasional pengembang. "Izin normatifnya sih kecil, tapi yang tidak resminya itu menyulitkan kami," kata Adin Restiadi, Anggota Dewan Penasihat Apersi Jabar. Ia mencontohkan izin lokasi di Kabupaten Bandung yang resminya Rp 200 per meter menjadi Rp 10.000- Rp 20.000 per meter.
"Kalau begitu, bagaimana bisa bener harganya. Kalau pemerintah bisa mengendalikan oknum-oknum itu, harga rumah tipe 29 bisa kami jual Rp 33 juta," ujar Ferry.
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi
Terima kasih telah membaca artikel tentang Sebuah Rumah Untuk Kaum Cilik di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.