JAKARTA – Adalah sebuah ironi bahwa ketika rumah yang notabene merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia justru sulit didapatkan. Kalaupun ada, harganya sudah berlipat-lipat dan sulit dijangkau. Inilah kenyataan yang harus diterima oleh masyarakat di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Rumah Sederhana yang berukuran antara 21 hingga 36 meter persegi, jumlahnya sangat terbatas dan lokasinya berada di pinggiran.
Sejumlah anggota masyarakat kepada SH sempat mengungkapkan kesulitan mendapatkan rumah sederhana. “Di mana lagi di Jakarta ini saya bisa mendapatkan rumah sederhana yang layak? Saya enggak mau tinggal di rumah susun. Biar kecil atau sederhana yang penting rumah milik sendiri,” tanya seorang rekan.
Untuk kawasan Jakarta, rasanya sudah tertutup untuk rumah sederhana. Lahan yang ada oleh pengembang atau developer lebih banyak dikembangkan untuk membangun rumah menengah atau rumah mewah lantaran margin keuntungan yang diperoleh relatif lebih besar.
Lantas ke mana perginya target pembangunan 150.000 unit RS yang dipatok pemerintah untuk tahun ini?
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Menkim-praswil), Soenarno, belakangan mengakui bahwa target tersebut tampaknya sulit dicapai.
“Barangkali harus kita akui realisasi tahun ini tidak bisa mencapai 150.000 unit seperti yang kita targetkan. Barangkali sekitar 90.000 unit. Tetapi jumlah itu sudah sangat bagus mengingat tahun 2002 kita hanya mampu membangun sekitar 40.000 unit RS,” ujarnya.
Keberhasilan pemerintah membangun 90 ribuan unit tahun ini, tambah Soenarno, tidak lepas dari sosialisasi subsidi selisih bunga kepada kalangan pengembang dan perbankan yang semakin baik.
Dengan dana subsidi selisih bunga sebesar Rp 256 miliar yang dikucurkan tahun depan Soenarno optimistis target 200.000 unit bisa tercapai.
Namun perlu diingat bahwa jumlah 90.000 unit RS yang terbangun tahun ini, lebih banyak berlokasi di luar Jakarta dan sekitarnya. Praktis hanya sebagian kecil yang bertempat di sekitar Jakarta.
Terbatas
Lukman Purnomosidi, Wakil Ketua Umum Dewan Pe-ngurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) tidak membantah kenyataan betapa sulitnya mendapatkan rumah sederhana.
“Bukannya tidak ada, di Jabotabek masih bisa diperoleh . Hanya saja memang jumlahnya terbatas dan lokasinya di pinggiran,” katanya.
Menurutnya, dari kalangan pengembang tetap ingin membangun rumah. Bahkan sejumlah pengembang fokus pada rumah sederhana.
PT Jasa Selera Asia (JSA), misalnya, saat ini mengembangkan perumahan Griya Cendekia seluas 43 hektare. Sebagian besar dari rumah-rumah di sini adalah Tipe 21, 27 dan 36, sisanya tipe yang lebih besar. Total terdapat sekitar ribuan unit RS yang dikembangkan di sana.
Selain di Parung, PT JSA juga mengembangkan perumahan Griya Narama seluas 45 hektare, masih diperuntukkan bagi kalangan PNS dan instansi/departemen yang jumlahnya mencapai 4.500 unit. Dan satu lagi di wilayah Suradita, Serpong, developer ini membangun kurang lebih 3.000 unit rumah pada areal seluas 43 hektare. Jika ditotal, kontribusi JSA jelas tidak sedikit.
Masih banyak pengembang yang beroperasi di Jabotabek yang juga concern pada pembangunan Rumah Sederhana. Di antaranya PT Gapura Prima Group pimpinan Rudy Margono.
Proyek-proyek perumahan sederhana yang dikembangkan developer ini tersebar di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Taman Raya Rajeg di Tangerang yang dikembangkan oleh PT Gapura Prima seluruhnya terdiri dari rumah sederhana Tipe 21, T27, dan T36.
Demikian pula dengan Taman Raya Bekasi seluruhnya terdiri dari rumah kecil tipe 21, 27 dan tipe 36.
PT Karya Cantika Kusuma yang tergabung dalam Grup Duta Putra, belum lama ini mengembangkan Perumahan Bukit Golf Cibubur Riverside. Di perumahan ini bisa dijumpai ratusan unit rumah sederhana Tipe 36 dengan harga yang relatif terjangkau.
Semua ini bukti bahwa partisipasi swasta (pengembang) dalam pembangunan rumah sederhana, tidaklah kecil.
Konsep 1:4:6
Demi mendorong percepatan realisasi rumah sederhana, beberapa tahun silam sempat muncul peraturan pemerintah yang mengusung konsep 1:4:6. Artinya, setiap pengembang yang akan membangun satu unit rumah mewah diharuskan membangun empat unit rumah biasa dan enam unit rumah sederhana.
Namun kenyataan peraturan tersebut sulit dijalankan dan sekarang barangkali proporsinya berbalik dengan rumah sederhana yang justru sedikit sekali dibangun.
Herman Sudarsono, bos PT Duta Putra Group, kepada SH sempat mengungkapkan bahwa konsep 1:4:6 bukanlah harga mati.
“Tidak perlu dipaksakan perbandingan harus 1:4:6. Harusnya lebih fleksibel. Pengembang sendiri yang memutuskan apakah membangun rumah sederhana atau gabungan dengan rumah menengah/mewah. Yang pasti komitmen developer tetap besar untuk ikut berpartisipasi membangun RS,” ujarnya di Jakarta.
Kenyataan di atas sekali lagi menunjukkan sulitnya membangun rumah sederhana bagi si kecil, yaitu golongan masyarakat bawah dengan penghasilan rendah. Pengembang punya komitmen, namun komitmen tersebut harus terus didorong.
Potensi realisasi pembangunan RS sebenarnya relatif besar. Para pengembang yang tergabung dalam REI sanggup membangun lebih dari 60.000 unit rumah, sementara Aso-siasi Pengembang Rumah Sederhana (Apersi) bisa menargetkan 35.000 unit. Di luar itu masih ada lagi Perumnas yang membangun 15.000 unit ditambah dengan Bapertarum-PNS (Badan Pertimbangan Tabungan Peru-mahan Pegawai Negeri Sipil) dan koperasi dengan potensi puluhan ribu unit RS.
Namun sekali lagi, jumlah itu masih jauh dari kebutuhan. Jutaan keluarga yang belum mendapatkan tempat tinggal yang layak. Ini artinya, rumah sekalipun itu rumah sederhana, masih menjadi obsesi di negeri ini.
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Terima kasih telah membaca artikel tentang Sulitnya Membangun Rumah bagi Si Kecil di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.