Ada yang Bikin Kagum, Ada yang Bikin Geli
Kompas Online
PAGI buta, saat sebagian orang masih tidur, sambil jalan-jalan pagi atau membawa berjalan-jalan binatang piaraan, barangkali saat yang baik untuk memperhatikan desain rumah-rumah kecil di kompleks-kompleks perumahan. Benar, rumah-rumah berukuran kecil--taruhlah bangunan di atas tanah seluas sekitar 100 meter persegi--kelihatan seperti berlomba menampilkan kecantikan dan keunikan masing-masing. Ekspresi rumah sebagai bagian gaya hidup juga mulai ditampilkan lapisan kelas menengah pemilik rumah-rumah ukuran kecil itu.
>small 2small 0< kualitas pembangunan rumah kecil mulai terasa sekitar tahun 1992-an ketika developer-developer swasta mulai membangun rumah untuk keluarga muda dengan dua atau tiga kamar tidur. Bangunannya masih kecil dengan desain sederhana, tetapi bahan bangunan yang digunakan lebih baik kualitasnya. Misalnya, dinding dengan bata, diplester dan dicat, lantainya menggunakan keramik, dan ventilasinya pun lebih baik karena berjendela dalam ukuran proporsional," tutur arsitek Rumahkebun yang mengerjakan rumah-rumah kecil di Depok dan Cibinong, Jabar, Ir Bambang Sutrisno.
Menurut Bambang, sekitar tahun 1980-an masih banyak pembangunan rumah kecil-bertipe terluas sekitar 70 meter persegi-yang hanya berdinding batako tanpa plester dengan ubin paling bagus teraso. Desainnya pun amat sederhana, hanya kamar dengan jendela-jendela tak terlalu besar, satu ruangan yang "diperkirakan" cukup untuk ruang tamu, serta ruang keluarga sekaligus ruang makan.
Bambang masih ingat, beberapa keluhan konsumen ketika itu antara lain sulitnya memaku dinding karena batakonya kosong. Padahal, untuk rumah tipe kecil dengan keterbatasan ruang, penghuni bahkan berharap bisa menempatkan lemari gantung. Kalau lemari gantung dipasang, dengan kualitas dinding seperti itu, dijamin ambrol....
BELAKANGAN, kesadaran orang mengenai ruang semakin meningkat. Meski di sana-sini masih banyak yang "norak", tak kurang juga rumah-rumah kecil yang mulai kelihatan manis.
Masih menurut Bambang Sutrisno, ia mengaku pernah punya klien pasangan suami-istri yang bekerja kedua-duanya. Cerita Bambang, "Mereka belum punya anak dan punya banyak kegiatan di luar rumah. Kebutuhan mereka akan rumah bisa dikatakan sekadar tempat yang nyaman untuk beristirahat, semacam cottage-lah. Kecil, indah, dan nyaman."
Itu untuk memberi gambaran mengenai perubahan yang tengah terjadi. Dulu, ada panduan untuk para arsitek yang dibuat oleh Ikatan Arsitek Indonesia. Salah satunya menyebutkan, untuk pembangunan rumah berukuran di bawah 36 meter persegi, tidak boleh ada uang jasanya. "Aturan ini pastilah dibuat dengan asumsi untuk membantu kalangan masyarakat yang tidak mampu," ucap Bambang. Sekarang, banyak pengembang maupun pemilik rumah yang justru menghendaki rumah berukuran kecil, contohnya seperti klien Bambang tadi.
Perubahan, tentu saja, tidak berlangsung seketika. Syafarini, arsitek lulusan Universitas Parahyangan yang kini sedang menangani rumah seniman Widayanto, mengatakan, orang Indonesia masih belum banyak yang menggunakan jasa arsitek dalam membangun rumah. Katanya, jangankan kelas menengah ke bawah, dari kalangan atas saja masih melihat jasa arsitek sebagai kurang penting dibandingkan dengan komponen biaya lain. "Biaya untuk membayar arsitek bagi mereka lebih baik untuk menambah biaya membangun rumah," kata Syafarini.
Sejauh yang diketahuinya, orang lebih cenderung mengejar kebutuhan ruang dalam membangun rumah. Akibatnya, masalah sirkulasi udara dan distribusi sinar matahari tidak diperhitungkan. "Jangan heran jika rumah yang dari tampak depan kelihatan keren, namun di dalam terasa pengap dan gelap hingga memerlukan penerangan meski siang hari bolong," ucapnya.
MASING-masing arsitek agaknya punya pandangan berbeda-beda mengenai "tren" ini. Wijoyo Hendromartono, arsitek dan konsultan Arcata Desain, betapapun melihat adanya peningkatan kesadaran orang akan pentingnya ruang dan penataannya. Dulu, katanya, rumah hanya berfungsi sebagai tempat tinggal di mana orang tidak akan kehujanan di dalamnya. Sekarang, fungsi rumah lebih dititikberatkan pada tempat bercengkerama dengan keluarga, tempat istirahat yang sejuk, yang siap menampung tubuh-tubuh kelelahan setelah seharian bekerja.
Ia melihat tiga syarat utama yang mulai diperhatikan dalam penataan rumah, yakni sirkulasi udara, pencahayaan, dan estetika. Kata Wijoyo, "Sekarang orang tidak memakai seluruh ruang yang ada, tetapi mulai ada yang disisakan yang berfungsi sebagai sumber cahaya dan sirkulasi udara. Mereka mulai sadar bahwa sirkulasi udara dan cahaya sangat mempengaruhi kesehatan."
Setelah sirkulasi udara dan cahaya terpenuhi, mereka mulai memikirkan soal estetika. Estetika ini yang akan membantu mereka untuk membuat kesan lebih luas pada rumah-rumah mungil. Estetika misalnya menyangkut pemilihan warna.
Kemudian, soal penataan ruang. Biasanya, rumah-rumah yang dibuat oleh developer sudah ditata ruangnya. Pihak developer yang mempunyai arsitek sendiri sudah memikirkan sirkulasi cahaya dan udara di setiap ruangan.
Ia akui memang, rumah-rumah yang dibangun sendiri atau rumah yang dibangun developer yang kemudian direnovasi oleh penghuninya sering kali kacau penataan ruangnya. "Misalnya banyak orang yang ingin ada kamar mandi di ruang tidur utama. Kamar mandi memang kecil, tetapi cukup menyita tempat. Kalau jumlah anggota keluarga hanya tiga-empat orang, apakah memang perlu kamar mandi lebih dari satu?" tanyanya.
Ada juga yang terlalu memaksakan diri dengan membuat dapur kering dan dapur basah. Menurut Wijoyo, hal seperti ini tidak ada faedahnya karena biasanya dapur kering sama sekali tidak terpakai. "Keluarga sekarang adalah ibu bekerja. Jadi, dia tidak sering-sering memakai dapur. Kalau cuma seminggu sekali dia ke dapur, mengapa tidak membuat dapur basah yang nyaman," ujar Wijoyo memberi contoh.
Soal keengganan orang memakai jasa arsitek ini juga diakui Wijoyo. Mereka ingin rumah mungil mereka tampak indah seperti ada sentuhan arstieknya, namun belum banyak di antara mereka yang berani memakai jasa arsitek. Katanya, "Mereka senang konsultasi dengan arsitek, tetapi begitu dikenakan biaya, mereka mundur. Mungkin karena selama ini mereka melihat sesuatu yang mahal selalu ada barangnya. Taruhlah mobil atau rumah. Sementara begitu melihat karya arsitek yang hanya berupa gambar-gambar, mereka merasa terlalu mahal. Mereka tidak menyadari bahwa gambar arsitek adalah sebuah karya seni. Yang mahal bukan gambarnya, melainkan ide dan proses kreatifnya."
BEGITULAH, di tengah arus perubahan yang terjadi-seperti halnya perubahan-perubahan gaya hidup di bidang lainnya pada kelas menengah kita-memang kadang terlihat kecanggungan-kecanggungan. Itulah wajah kelas menengah Indonesia saat ini.
Kalau pagi hari Anda sempat jalan-jalan di lingkungan-lingkungan perumahan, Anda akan mendapati bagaimana kalangan menengah ini coba-coba mengekspresikan diri dalam penataan hunian mereka. Ada yang membuat kita kagum, ada yang membikin kita ingin tertawa geli.
Gambar Rumah Jakarta
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi
Terima kasih telah membaca artikel tentang Gambar Rumah Jakarta Kagum Sekaligus Geli di blog Bangun Renovasi Rumah Cheria jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.